SEJARAH DESA TRIHANGGO, KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SEJARAH DESA TRIHANGGO
Oleh
Suyana Wiharjo
BAGIAN PEMERINTAHAN
DESA TRIHANGGO
KECAMATAN
GAMPING
KABUPATEN
SLEMAN
KATA PENGANTAR
Buku Sejarah Desa Trihanggo
adalah salah satu diantara hasil pelaksanaan kegiatan Merti Desa Trihanggo
Tahun 2016, yang dilaksanakan mulai Bulan Maret sampai dengan Bulan Desember
2016, dimaksudkan untuk menelisik peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di
wilayah Desa Trihanggo di masa lampau, untuk dijadikan sebagai bagian dari
kekayaan nilai-nilai budaya masyarakat Desa Trihanggo.
Buku ini memuat uraian tentang
beberapa peristiwa yang terjadi di Desa Trihanggo, sejak jaman awal berdirinya
kasultanan Yogyakarta sampai dengan jaman pembangunan dimasa kini.
Berkaitan dengan kandungan
materi isi buku ini, diharapkan mampu menjadi jembatan informasi yang
menghubungkan segala peristiwa dimasa lampau dengan pelaku sejarah dimasa
modern saat ini dan saat yang akan datang.
Informasi yang terdapat didalam
buku ini semoga bermanfaat bagi upaya
penyelamatan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai kepahlawanan bagi generasi yang
akan datang.
Terbitan buku ini diharapkan
dapat memperkaya khasanah kebudayaan dan memberi informasi yang memadai bagi
masyarakat peminat serta memberi petunjuk bagi kajian selanjutnya.
Sleman, Desember 2016
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
1. pengertian tentang
Sejarah Desa Trihanggo
2. Sejarah Desa
Trihanggo dari Sisi Peristiwa Pertanahan
2.1 Sejarah Desa Trihanggo berdasarkan
data awal Pertanahan
2.2 Sejarah
Pertanahan pada Zaman Kasultanan Yogyakarta
2.3 Pertanahan di Era Pembentukan
Kalurahan sebagai Badan Hukum
2.4 catatan Sejarah berdasarkan Peristiwa
Pertanahan
3. Sejarah Kewilayahan
4. Hubungan
Sejarah Kalurahan Trihanggo dengan kabupaten Bantul
5. Wilayah
Desa Trihanggo
6. Jabatan
dan Nama-nama Pejabat Kalurahan Lama
10.01 Kalurahan
Kerunggahan
10.02 Kalurahan
Jambon
10.03 Kalurahan
Biru
7. Hubungan Sejarah
antara Wilayah Desa Trihanggo dengan Kabupaten Sleman
8. Pejabat
Pemerintahan
9. Sejarah
Pendidikan di Desa Trihanggo.
10. Sejarah
Desa Trihanggo pada Jaman Pendudukan Tentara Jepang.
11. Desa
Trihanggo pada Jaman Permulaan Kemerdekaan RI
12. Desa
Trihanggo pada Jaman Perang Kemerdekaan
13. Kehidupan Masyarakat
14. Industri Masyarakat
15. Ketokohan
16. Kantor
17. Wilayah
19. Kebudayaan
20. Tradisi
21. Kesenian
Tradisional.
22. Perangkat Desa
Trihanggo
Pustaka
Lampiran-lampiran
SEJARAH DESA TRIHANGGO
01. Pengertian
tentang Sejarah Desa Trihanggo
Sejarah suatu tempat merupakan hal yang
penting sebagai bagian dari perkembangan suatu wilayah, sebab pada hakekatnya
sejarah suatu tempat merupakan gambaran karakteristik perkembangan yang telah
terjadi disuatu wilayah.
Sejarah Desa Trihanggo adalah segala
perisiwa yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikenal sebagai wilayah
Desa Trihanggo, sehingga dengan demikian catatan sejarah Desa Trihanggo
diharapkan dapat memberi gambaran tentang suatu masa pada suatu tempat, dan ada
dan keberadaannya tersebut diakui oleh pihak lain dan atau setidaknya diakui
oleh pihak penyelenggara pemerintahan yang berlaku pada saat itu.
Sejalan dengan pengertian tersebut diatas,
yang dimaksud dengan Sejarah Desa Trihanggo adalah suatu catatan keadaan atau
rentetan peristiwa pada suatu masa di
suatu wilayah perdesaan yang kemudian
dikenal dengan sebutan Desa Trihanggo. Suatu keadaan yang menggambarkan
kelompok kehidupan dengan tata dasar kehidupan bermasyarakat dalam batas
wilayah yang jelas dan keberadaan daerah serta kelompok masyarakat dengan
tatanan kehidupan tersebut diakui oleh pihak lain.
Dalam pengertian sehari-hari, Yang dimaksud
dengan sejarah Desa Trihanggo adalah segala peristiwa yang pernah terjadi
disuatu wilayah yang kemudian dikenal sebagai Desa Trihanggo.
02
Sejarah Desa Trihanggo dari Sisi Peristiwa
Pertanahan
02.01Sejarah
Desa Trihanggo berdasarkan data awal Pertanahan
Sejak zaman Majapahit ditanamkan keyakinan
bahwa tanah di wilayah kerajaan adalah milik Raja dan dipergunakan untuk
lungguh para Nayaka, Para Pembesar daerah dan para pegawainya. Rakyat hanya
mempunyai hak menggarap atas tanah-tanah lungguh tersebut. Sebagai penggarap,
rakyat berhak atas sebagian dari hasil pertanian, Sedangkan sebagian lainnya
harus diserahkan kepada pejabat pemilik tanah lungguh, kepada Bekel (Kepala
Desa), kepada Demang, kepada Bupati dan kepada Kas Kraton sebagai pajak.
02.02Sejarah Pertanahan pada Zaman
Kasultanan Yogyakarta
Kasultanan Yogyakarta lahir dari
tercapainya perdamaian antara Susuhunan PB.III dan Pangeran Haryo Mangkubumi
(yang kemudian bergelar Sri Sultan HB.I), berlangsung di Desa Gianti pada
tanggal 13 Februari 1755. Dengan terbaginya Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta ini berdampak pada timbulnya suasana baru
dan corak baru. Hal yang demikian ini meliputi pula dalam bidang pemerintahan,
kebudayaan dan kesenian.
Penataan kewilayahan Kasultanan Yogyakarta
menyatakan bahwa Kasultanan terdiri atas 3 daerah, yaitu:
A. Nagoro, adalah daerah pusat pemerintahan
sekaligus tempat tinggal sultan dan para pembesar kerajaan. Daerah ini pada
masa sekarang lebih dikenal sebagai Daerah Ibukota Kerajaan.
B. Nagoro Gung, adalah daerah yang merupakan
tanah lungguh para pembesar kerajaan, dan Sleman adalah termasuk didalam daerah
Negoro Gung.
C. Monco Nagoro, adalah daerah yang merupakan
pemajengan Dalem, dikuasai oleh para Bupati. Daerah yang termasuk dalam Monco
Nagoro ini antara lain Kedu, Purworejo, Kutoarjo, Kebumen dan Banyumas.
Pada masa awal Kerajaan Kasultanan
Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Gianti, Pangeran Mangkubumi memulai kegiatannya membangun kasultanan
Yogyakarta berbasis di Pesanggrahan Ambarukmo, kemudian seiring perjalanan
waktu Pangeran Mangkubumi berpindah dari Ambarukmo ke Ambarketawang. Dari
pesanggrahan di Ambarketawang ini Pangeran Mangkubumi mengatur wilayah dan
menyiapkan sarana dan prasarana Kraton termasuk tempat tinggal sultan dan para
pembesar kerajaan di Hutan Beringan (Lokasi Keraton kasultanan Yogyakarta pada
saat ini).
Pada akhirnya, Pangeran Mangkubumi
jumeneng sebagai Sultan Yogyakarta dan bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono. Pada
masa Pemerintahan Sri Sultan HB.I sampai dengan Sri Sultan HB.VII, para Nayaka,
Para Pembesar daerah dan pegawai diberi gaji berupa Hak Anggaduh tanah yang kemudian disebut sebagai tanah lungguh. Para nayaka dan pegawai
tersebut juga mendapat uang tetempuh dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Salah satu contoh pejabat kerajaan yang
memiliki tanah lungguh adalah Patih Dalam (Pepatih
Dalem). Pepatih Dalem dan para
pegawainya memiliki tanah lungguh yang
terletak di daerah Mentawis, yaitu tanah yang terletak diantara Kali Progo
(batas Barat) dan Kali Opak (Batas Timur).
Peraturan pemberian gaji oleh Kerajaan berupa
tanah lungguh dan pemberian uang tetempuh oleh Pemerintahan Hindia
Belanda berlaku sampai dengan Tahun 1914 yaitu pada waktu “Apanange Stelsel” dihapus dan dibentuk kalurahan-kalurahan sebagai
badan hukum.
02.03Pertanahan di Era Pembentukan
Kalurahan sebagai Badan Hukum
Pembentukan Kalurahan-kalurahan sebagai
badan hukum di wilayah Kasultanan Yogyakarta, secara yuridis formal dibentuk
secara bersamaan, namun pada pelaksanaannya pembentukan Kalurahan-kalurahan di
daerah-daerah tidak serta merta dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain :
a. Adanya kepentingan dari berbagai pihak
yang ingin tetap mempertahankan sistem “Apanange
Stelsel”. Hal ini karena sudah berlangsung lama Bupati, wedana, kuwu,
Demang dan bekel menjadi pelaksana langsung penerapan sistem apanange stelsel dan sistem perkebunan
swasta penanaman modal bangsa asing.
b. Kalurahan sebagai badan hukum adalah hal
yang baru dan belum pernah ada sebelumnya, sehingga diperlukan sumber daya
manusia yang sesuai dan memadai sebagai penyelenggara pemerintahan kalurahan.
Beberapa diantara Kalurahan-kalurahan yang
dibentuk sebagai tindak lanjut dari penghapusan “Apanange Stelsel” adalah Kalurahan Kerunggahan(yang pada dekade
berikutnya dikenal dengan sebutan Kalurahan Kronggahan), Kalurahan Jambon dan
Kalurahan Biru.
02.04Catatan
Sejarah berdasarkan Peristiwa Pertanahan
Berdasarkan catatan Peristiwa pertanahan,
ternyata di salah satu dari ketiga kalurahan ini, pada tanggal 02 September
1929 telah terdapat peristiwa yang pertama kali mencatat peralihan hak anggaduh
tanah, yang secara redaksional memuat nama dan tanda tangan para pihak, nama
dan tandatangan Carik Desa dan Lurah Desa, serta mendapat legalitas dari
Assistant Wedana Gamping, Wedana Godeyan, Bupati Bantul, Assistant Resident
Jogyakarta dan Resident Jogyakarta. Dan juga mendapat legalitas dari Pepatih Dalem.
Hal ini menjadi bukti bahwa secara de facto dan secara de yure pada tanggal 02
September 1929 telah terdapat kegiatan administsrasi di dalam salah satu
kalurahan ini, yang memiliki kekuatan hukum dan diakui oleh masyarakat.
Berdasarkan fakta-fakta peristiwa
pertanahan tersebut diatas, maka patut diakui bahwa Pada Tanggal 2 September 1929 Wilayah Desa Trihanggo sudah ada dan
keberadaannya diakui oleh pihak lain termasuk pihak peenyelenggara pemerintahan
ditingkat yang lebih tinggi.
03
Sejarah Kewilayahan
Terdapat beberapa petunjuk bahwa di
wilayah desa yang saat ini dikenal dengan wilayah Desa Trihanggo sudah dihuni
oleh penduduk yang memiliki tata aturan bermasyarakat sejak awal berdirinya
kerajaan Kasultanan Yogyakarta.
Beberapa nama tokoh masyarakat pada saat
itu yang dimakamkan di dengan tetenger gelar dan nama pada pusara
mengisyaratkan suatu gelar yang diberikan oleh kelompok masyarakatnya kepada
seseorang yang berjasa dan memiliki nama besar. Beberapa gelar yang diberikan
oleh masyarakatnya tersebut antara lain “Ki Ageng” dan “ Ki Ronggo”. Kedua
gelar ini jelas mengisyaratkan bukanlah gelar yang berasal pada zaman
kasultanan Yogyakarta tetapi gelar yang ada pada zaman Kerajaan Mataram Islam
yang berpusat di Kota Gede. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa penyebutan gelar
“Ki Ageng” dan “Ki Ronggo” dan yang semacamnya ini tetap ada pada masa awal
proses berdirinya Kasultanan Yogyakarta.
Beberapa orang yang mengindikasikan hal tersebut
antara lain :
a. Ki
Ageng Noto Hadipuro.
Ki Ageng Noto Hadipuro ketika masih kecil
bernama Kurawan, menempati suatu perdusunan yang banyak ditumbuhi rumpun bambu
di dekat aliran Kali Bedog. Pada akhirnya perdusunan itu disebut sebagai Awen,
berasal dari kata “AWI” + akhiran “AN”. “Awi” dalam bahasa sanksekerta berarti rumpun pohon bambu.
Ki Kurawan atau Ki Ageng Noto Hadipuro
atau yang lebih dikenal dengan Kiai Awen, semasa hidupnya adalah salah satu prajurit pengikut
setia Pangeran Mangkubumi. Ki Kurawan turut terlibat dalam perjuangan Pangeran
Mangkubumi dalam Perang Mahkota Jawa Kedua yang berakhir dengan Perjanjian
Giyanti tahun 1755.
Ki Kurawan banyak terlibat membantu
Pangeran Mangkubumi semasa Beliau Pangeran yang bergelar Sultan Hamengkubuwono
Kesatu tersebut masih bermukim di Pasanggrahan Ambarketawang.
Tokoh ini mendapat gelar Ki Ageng Noto
Hadipuro karena pengabdiannya kepada Pangeran Mangkubumi pada tahap awal
pembangunan pemerintahan Kerajaan Kasultanan Yogyakarta.
b. Kyai
Badaruddin, adalah seorang prajurit yang berasal dari kerajaan Demak, sengaja
datang ke wilayah Kasultanan Yogyakarta untuk bergabung membantu perjuangan
Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Setelah Perang Diponegoro dapat dipadamkan
oleh Belanda, para pengikutnya menyebar ke segenap pelosok wilayah desa untuk bertempat
tinggal dan berbaur dengan masyarakat setempat dengan tujuan menghindari upaya
penangkapan terhadap para pengikut pangeran Diponegoro yang dilakukan oleh
Pasukan Kumpeni Belanda. Banyak prajurit Pangeran Diponegoro yang kemudian
lebih memilih syiar agama, pada saat itu Kyai Badaruddin memilih berlindung di
Masjid Pathok Negara Padukuhan Mlangi. Pada saat situasi sudah tenang, Kyai
Badaruddin dan istrinya berpindah domisili dari Mlangi dan kemudian menetap di
Padukuhan Ngawen sampai beliau wafat.
04
Hubungan Sejarah Kalurahan Trihanggo
dengan kabupaten Bantul
04.01 Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan
Jambon dan Kalurahan Biru dibentuk sebagai tindak lanjut dari penghapusan Apanange Stelsel Tahun 1914, termasuk
dalam wilayah
Kabupaten :
Bantul
District :
Godeyan
Onderdistrict : Gamping
Sehingga dengan demikian, sejarah awal
wilayah Desa Trihanggo lebih banyak berkaitan dengan peristiwa Sejarah Wilayah Pemerintahan
Kabupaten Bantul.
04.02 Pada tanggal
27 september 1830, ditetapkan Perjanjian Klaten. Suatu perjanjian antara Sunan
PB.VII dan Sri Sultan HB.V yang berisi tentang penegasan batas wilayah antara
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Tindak lanjut dari Perjanjian Klaten ini,
pada tanggal 31 Maret 1831 wilayah kasultanan Yogyakarta dibagi atas 3
kabupaten, yaitu :
a.
Kabupaten
Bantul Karang
b.
Kabupaten
Denggung
c.
Kabupaten
Kaelasan
Pada masa ini Kalurahan Kerunggahan,
Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk dalam daerah Kabupaten Bantul
Karang.
04.03 Pada 1909, dilakukan
penataan wilayah kasultanan Yogyakarta yang menyatakan bahwa wilayah Kasultanan
Yogyakarta dibagi atas 6 kabupaten, yaitu:
a. Kabupaten Yogyakarta sebagai pusat
pemerintahan
b. Kabupaten Bantul
c. Kabupaten Kaelasan
d. kabupaten Denggung
e. Kabupaten Kulonprogo ( daerah
Kulonprogo bagian selatan dan gunungkidul)
f. Kabupaten Adikarto, yang merupakan
wilayah Kadipaten Pakualaman.
Pada masa ini Kalurahan Kerunggahan,
Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk dalam daerah Kabupaten Bantul
05
Wilayah Desa Trihanggo
Nama TRIHANGGO pada awalnya bernama
TRIHONGGO, berasal dari 2(dua) suku kata yaitu TRI (artinya Tiga) dan HONGGO
(artinya tubuh).
Nama Desa TRIHONGGO dapat ditemui pada
teraan nama desa pada stempel dinas KALURAHAN TRIHONGGO, suatu stempel resmi
yang pertama kali digunakan secara sah untuk kegiatan administrasi pemerintahan
Desa Trihanggo.
Wilayah Desa Trihanggo adalah merupakan
penggabungan dari 3(tiga) kalurahan,
yaitu Kalurahan Kerunggahan (yang terdiri dari Dusun Kronggahan I, Kronggahan
II dan Ngawen), Kalurahan Jambon (yang terdiri dari Dusun Mayangan, Trini,
Baturan, Jambon, Bedog dan sebagian Padukuhan Salakan) dan Kalurahan Biru
(terdiri dari sebagian Dusun Salakan, Nusupan, Biru dan panggungan). Pada
kenyataannya, Wilayah Desa Trihanggo adalah identik dengan kesatuan 3(tiga) wilayah
kalurahan tersebut diatas.
Keidentikan yang dimaksud meliputi semua
bidang, antara lain:
1. Jumlah padukuhan
2. Nama-nama tempat, nama-nama bulak dan nama-nama
Padukuhan.
3. Luas dan Batas wilayah.
4. Sumberdaya alam.
5. Sumber daya manusia.
6. Penduduk.
7. Norma-norma dan psikologi masyarakat.
Dengan keidentikan tersebut, Sejarah Wilayah
Desa Trihanggo tidak dapat disebut sebagai berdiri sendiri, tetapi melekat dan
merupakan kelanjutan dari sejarah Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan
Kalurahan Biru.
06
Jabatan dan Nama-nama Pejabat Kalurahan Lama
06.01
Kalurahan
Kerunggahan
Dalam menjalankan
pemerintahan, di Kalurahan Kerunggahan terdapat beberapa jabatan, yaitu:
a. Lurah ……………………………………….. 1
orang
b. Carik ………………………………………… 1
orang
c. Kamituwo ………………………………… 1 orang
d. Gebayan …………………………………… 1
orang
e. Jogoboyo ………………………………….. 2
orang
f.
Ulu-ulu
……………………………………… 1 orang
g. Kahum………………………………………. 1 orang
Beberapa
orang yang pernah menjabat sebagai
Perangkat di Kalurahan Kerunggahan, antara lain :
01. Harjodikoro, Kronggahan I
02. Kertowiharjo, Kronggahan I
03. Jogodimejo, Kronggahan I
04. Kartorejo, Ngawen
05. Joyowigeno, Ngawen
06. Slamet, Krongahan II
07. Somodiwiryo, Kronggahan I
08. Resowiharjo, Kronggahan I
09. Wongsodikromo, Kronggahan II
10. Wongsodikoro, Kronggahan II
11. Ronorejo, Kronggahan II
12. Pawirosentono, Ngawen
13. Kariyorejo, Kronggahan
14. Kertodinomo, Kronggahan
15. Kromosentono, Kronggahan
16. Kasandimejo, Kronggahan
17. Selodimejo, Kronggahan.
18. Mulyopawiro, Kronggahan I.
06.02Kalurahan Jambon
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Kalurahan jambon terdapat beberapa jabatan,
yaitu:
a. Lurah ……………………………………….. 1
orang
b. Carik ………………………………………… 1
orang
c. Kamituwo ………………………………… 1 orang
d. Gebayan …………………………………… 1
orang
e. Jogoboyo ………………………………….. 3
orang
f.
Ulu-ulu
……………………………………… 2 orang
g. Kahum………………………………………. 1 orang
Beberapa orang yang pernah menjabat sebagai Perangkat di Kalurahan Jambon, antara lain :
01. Josemito,
02. Pawirodiwiryo
03. Wongsodiwiryo
04. Wongsoharjo, Baturan Lor
05. Pawirosono
06. Mertorejo, jambon
07. Wonodimejo, Jambon
08. Surodiryo, Jambon
09. Cokrorejo, jambon
10. Josemangun
11. Todimejo
12. Topawiro
13. Harjopawiro, Baturan Lor
14. Kartosentono, Bedog
15. Wongsodimejo, Trini
16. Kartorejo, Donokitri
17. Wongsosentono, Trini
18. Kariyodimejo, Jambon
19. Ranusetiko, Mayangan
20. Torejo, Mayangan
21. Ngadimun, Bragasan
22. Dimopawiro, Bragasan
23. Wongsopawiro, Ngenthak
24. Kromorejo, Bedog
25. Jogodimejo, Bedog
26. Kromodikoro, Baturan Kidul
Pada tahun 1927 sampai dengan tahun 1929, kalurahan Jambon dipimpin
oleh Lurah bernama Topawiro dari Padukuhan Baturan Lor. Pada tahun 1929
Topawiro digantikan oleh Surodiryo dari Padukuhan Jambon, yang menjabat sebagai
Lurah sampai dengan tahun 1936. Dalam menjalankan pemerintahannya Lurah
Surodiryo dibantu oleh Carik bernama Sastrodiharjo dari Padukuhan Jambon..
Surodiryo berhenti tahun 1936 digantikan oleh Lurah bernama Josentono,
yang menjabat sebagai Lurah pada tahun 1936 s.d 1948. Beliau dibantu oleh
seorang Carik bernama Joyodisastro dari padukuhan Bedog.
06.03
Kalurahan
Biru
Dalam
penyelenggaraan pemerinahan di Kalurahan Biru terdapat beberapa jabatan, yaitu:
a. Lurah ……………………………………….. 1 orang
b. Carik ………………………………………… 1 orang
c. Kamituwo ………………………………… 1 orang
d. Gebayan …………………………………… 1 orang
e. Jogoboyo ………………………………….. 3 orang
f.
Ulu-ulu ……………………………………… 1 orang
g. Kahum………………………………………. 1 orang
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan Kalurahan Biru tercatat beberapa orang yang pernah menjabat sebagai Perangkat
Kalurahan, antara lain :
01. Atmodiharjo,
02. Surorejo,
03. Joyodikromo,
04. Surodikoro,
05. Mangunwijoyo
06. Wongsoharjo,
07. Jowiryo,
08. Cokropawiro,
09. Wiryoharjo,
10. Mertoijoyo,
11. Wongsodikromo,
12. Kariyorejo,
13. Pawirorejo,
14. Dipodimejo,
15. Ranudimejo,
16. Karyodimejo,
17. Setroikromo,
18. Pawirodinomo,
19. Martopawiro,
20. Martopawiro,
21. Atmopawiro,
22. Kromodimejo,
23. Kromosentono,
Pada tahun 1929 sampai dengan tahun 1935,
Kalurahan Biru dipimpin oleh Lurah bernama Pawirodiharjo dari Padukuhan
Nusupan, dan dibantu oleh Carik Desa bernama Sastrowiharjo.
Pada tahun 1935 Pawirodiharjo digantikan oleh
Lurah bernama Sastrowiharjo yang menjabat sampai tahun 1948. Dalam menjalankan
roda pemerintahan dibantu oleh Carik bernama Kasah Sastropranoto dari Padukuhan
Nusupan.
07
Hubungan Sejarah antara Wilayah Desa
Trihanggo dengan Kabupaten Sleman
a. Rijkblaad No.11 Tahun 1916 tanggal 15 Mei
1916, menyebutkan tentang pembentukan Kabupaten di Wilayah Kasultanan
Yogyakarta, yaitu Kabupaten Kae lasan, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sulaeman.
Kabupaten
Sulaeman pada saat itu membawahi 4 distrik yang terdiri atas 211 Kalurahan, yaitu: Distrik Mlati (46 Kalurahan), Distrik
Klegoeng (52 Kalurahan), Distrik Joemeneng (58 Kalurahan) dan Distrik Gudheyan
(55 Kalurahan).
b. Pada tahun 1927, dengan Rijblaad Nomor 1
Tahun 1927 Kasultanan Yogyakarta melakukan penataan dan pengaturan kewilayahan ,
yang menyatakan bahwa wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi dalam 4 kabupaten,
yaitu Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul dan
kabupaten Kulonprogo. Sehingga keberadaan Kabupaten Sleman yang pertama (yang
dibentuk berdasarkan Rijkblaad No.11 Tahun 1916) dinyatakan dihapus dan selanjutnya
Sleman ditetapkan sebagai Distrik dibawah kabupaten Yogyakarta.
Dalam
situasi ini, Kalurahan Kerunggahan, kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk
dalam wilayah Kabupaten Bantul. Hal ini dapat diketahui dari catatan dan Dokumen pertanahan yang dengan jelas terdapat
teraan tandatangan sebagai legalitas dan keabsahan dokumen.
Pada
era ini, Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru termasuk
wilayah Kabupaten Bantul. Data dokumen pertanahan menyebutkan dengan jelas
mendapatkan legalisasi dari Assisten Wedana Gamping, Wedana Gudeyyan Kabupaten
Bantul Resident Jogjakarta.
c. Pada Tahun 1940, Kasultanan Yogyakarta melakukan
penataan ulang pemerintahan dengan menerbitkan Rijblaad Nomor 13 Tahun 1940 tanggal
18 Maret 1940 yang menyatakan bahwa wilayah Kasultanan Yogyakarta membawahi 4
kabupaten, yaitu Kabupaten Yogyakarta(membawahi Distrik Kota dan Distrik
Sleman), Kabupaten Bantul (4 Distrik) Kabupaten Kulonprogo (2 Distrik)dan
Kabupaten Gunungkidul (3 Distrik).
Pada
penetapan ini, sekali lagi Kalurahan Kerunggahan, kalurahan Jambon dan
Kalurahan Biru masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul.
d. Pada Tahun 1942, dengan Yogyakarta Kooti Nomor 2, Kasultanan
Yogyakarta melakukan reorganisasi pemerintahan kabupaten di wilayah Kasultanan
Yogyakarta yang menyatakan bahwa:
d.1
Kabupaten Yogyakarta (3 kawedanan:
Kawedanan Kota, Kalasan dan Sleman)
d.2 Kabupaten Bantul (4 Kawedanan:
Kawedanan Bantul, Kotagede,Pandak dan Godeyan).
D.3 Kabupaten Gunungkidul (3 kawedanan:
Kawedanan Wonosari, Playen dan Semanu).
d.4
Kabupaten Kulonprogo (2 kawedanan: Kawedanan Nanggulan dan Sentolo)
Pada
penetapan ini, sekali lagi Kalurahan Kerunggahan, kalurahan Jambon dan
Kalurahan Biru termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul.
e. Pada Tanggal 8 April 1945, dengan ditetapkannya
Jogjakarta Koorei Angka 2,
Kasultanan Yogyakarta menetapkan bahwa Wilayah kasultanan Yogyakarta dibentuk 5
kabupaten yaitu Kabupaten (syi) Yogyakarta, Kabupaten (Ken) Bantul, Kabupaten (Ken)
Gunungkidul, Kabupaten (Ken) Kulonprogo dan Kabupaten (Ken) Sleman.
Ketetapan
Jogjakarta Koreei Angka 2 Tahun 1945 ini menjadikan Sleman kembali menjadi pemerintahan kabupaten dan membawahi 17
kapanewon (Son) yang terdiri atas 258 kalurahan (Ku). Pada saat itu, pusat
pemerintahan kabupaten Sleman berada di Kalurahan Triharjo, kapanewon
(Son)Sleman, Kabupaten (Ken) Sleman.
Tahun
1949, dengan adanya peristiwa Agresi Militer II telah mengakibatkan pusat
pemerintahan Kabaupaten Sleman di Kalurahan Triharjo tidak memungkinkan untuk
melakukan kegiatan pemerintahan kabupaten sehingga Bupati KRT Projodiningrat
memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Sleman ke Petilasan Dalem Ambarukmo.
Ketetapan
Jogjakarta Koreei Angka 2 Tahun 1945 menetapkan Kalurahan Kerunggahan,
kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru
termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman.
Sehingga
dengan demikian, secara administrasi pemerintahan wilayah Desa Trihanggo (yang
pada saat itu masih berwujud Kalurahan kerunggahan, Kalurahan Jambon dan kalurahan
Biru) menjadi bagian dari wilayah Kabupaten
Sleman adalah terhitung sejak tanggal 8 April 1945.
f.
Pada
tahun 1946, sesungguhnya Sri Sultan HB.IX sudah berhasil menata dan
melaksanakan sistem pemerintahan yang modern dan teratur. Sistem pemerintahan
modern ini mengharuskan Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta menanggung gaji para
pegawainya dalam bentuk uang. Hal ini berlaku untuk semua pegawai di tingkat
pemerintahan. Sedangkan untuk membayar gaji perangkat kalurahan dipergunakan
dengan pemberian hak garap atas tanah yang disebut tanah lungguh. Karena banyaknya perangkat kalurahan yang harus
dibiayai disetiap kalurahan, sedangkan jumlah tanah lungguh tidak mencukupi,
maka untuk menyikapi permasalahan itu Sri Sultan HB.IX mengeluarkan Maklumat Nomor 5 tahun 1948 tertanggal 19
April 1948 yang pada pokoknya adalah melakukan penggabungan beberapa
kalurahan menjadi kalurahan baru.
Penggabungan beberapa kalurahan menjadi
kalurahan baru ini lebih dikenal dengan sebutan “Blengketan”.
Berdasarkan perintah Sultan, untuk
menyikapi pelaksanaan “Blengketan”, telah diadakan rapat-rapat dan
pertemuan-pertemuan yang melibatkan penyelenggara pemerintahan di Kalurahan
Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru.
Delegasi dari Kalurahan Kerunggahan
dipimpin oleh Somodiwiryo selaku Lurah Kerunggahan, delegasi dari Kalurahan
Jambon dipimpin oleh Josentono selaku Lurah Jambon dan delegasi dari Kalurahan
Biru dipimpin oleh Sastrowiharjo Selaku Lurah Biru, telah menyelenggarakan
pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang khusus membahas tentang pelaksanaan
“Blengketan”.
Puncaknya terjadi pada pertemuan Hari Rabu, tanggal 16 April 1947 telah
dicapai kesepakatan tentang pelaksanaan “Blengketan”, yang antara lain berisi
tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Kalurahan
Kerunggahan, Kalurahan Jambon dan Kalurahan Biru, bergabung menjadi satu
Kalurahan baru. Penggabungan ini meliputi wilayah dengan batas-batas yang sudah
ada pada batas kalurahan-kalurahan lama sehingga dengan demikian dalam
penggabungan ini tidak ada penyusutan dan tidak ada penambahan wilayah.
2. Pemberian
nama kepada Kalurahan baru hasil penggabungan Kalurahan Kerunggahan, Kalurahan
Jambon dan Kalurahan Biru dengan nama “KALURAHAN TRIHONGGO”. Kata Trihonggo
berasal dari kata TRI (artinya tiga) dan HONGGO (artinya Tubuh). Sehingga
TRIHONGGO mempunyai arti sebuah makna bahwa DESA TRIHANGGO adalah hasil
penyatuan 3 (tiga) kalurahan secara utuh. Lebih tepat dipakai penyatuan 3
kalurahan karena mengandung maksud bahwa pada saat itu ketiga-tiganya
(kalurahan yang dimaksud) memiliki unsur lengkap yang sama dan dalam derajat
yang sama, yaitu unsur wilayah, unsur penduduk, unsur administrasi dan unsur
penyelenggara pemerintahan.
3. Disetujui tentang pembentukan 15 Kring di
wilayah Desa Trihonggo, yaitu:
a. Kring I, Kronggahan : Kepala Kring Sastrodiardjo.
b. Kring II, Kronggahan : Kepala Kring Ali Muchajat.
c. Kring III, Kronggahan : Kepala Kring Ardjosuwarno.
d. KringIV, Ngawen Tegal : Kepala Kring Pawiroutomo.
e. Kring V, Ngawen : Kepala Kring Djojosudarmo.
f.
Kring
VI, Kedon :
Kepala Kring Siswowijoto.
g. Kring VII, Mayangan : Kepala Kring Atmowirjono.
h. Kring VIII, Trini : Kepala Kring Darmohartono.
i.
Kring
IX, Baturan : Kepala Kring
Purwodiardjo.
j.
Kring
X, Jambon :
Kepala Kring Tjokrowardojo.
k. Kring XI, Bedog : Kepala Kring Aliwinarto.
l.
Kring
XII, Salakan : Kepala Kring Amat
Saleh.
m. Kring XIII, Nusupan : Kepala Kring Wiknjohartono
n. Kring XIV, Biru : Kepala Kring Mangunredjo.
o. Kring XV, Panggungan : Kepala Kring Atmoredjo.
Blengketan yang dilakukan untuk
menggabungkan tiga kalurahan yaitu Kalurahan kerunggahan, Kalurahan Jambon dan
kalurahan Biru menjadi Kalurahan Trihanggo dirintis sejak awal tahun 1947 dan baru dapat terwujud tercapai
kesepakan pada pertemuan yang dilaksanakan pada Hari Rabu Pon, tanggal 16 April 1947 bertepatan dengan .25 Jumadilawal 1366 H
Desa Trihanggo ditetapkan sebagai Desa
(hasil pelaksanaan blengketan) bersama-sama dengan seluruh desa di wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Maklumat
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tanggal 19 April 1948.
Sesuai dengan Maklumat No.5 Tahun 1948,
Desa yang telah terbentuk sebagai hasil dari blengketan secara resmi dimulai
sejak selesainya pembentukan pamong di masing-masing kalurahan. Dan ternyata
Desa Trihanggo selesai pembentukan pamong
pada Hari Senin Kliwon tanggal 17
Meil 1948. Bertepatan dengan Tanggal
9 Rajab 1367 H, Dengan Susunan
Penyelanggara Pemerintahan sebagai berikut:
01. Lurah :
Mitrodiharjo., Baturan
02. Kabag Sosial : Sastro Pranoto, Nusupan
03. Kabag Keamanan : Atmo Kartono, Baturan
04. Kabag Kemakmuran : Poncowiyarjo, Baturan
05. Kabag Kahum/Igama : Abdullah Hadi, Baturan
06. Kabag Umum :
Sumaryoto, Jambon
07. Dukuh Kronggahan I : Sastrodimejo.
08. Dukuh Kronggahan II : Arjosuwarno.
09. Awen :
Joyosudarmo.
10. Mayangan :
Dirjosentono .
11. Trini :
Wongso sentono.
12. Baturan :
Purwodiharjo.
13. Jambon :
Cokrowardoyo.
14. Bedog :
Aliwinarto.
15. Salakan :
Amat Saleh.
16. Nusupan :
Wignyo Hartono.
17. Biru :
Mangunrejo.
18.
Panggungan : Atmorejo.
08
Pejabat Pemerintahan
08.01
Orang-orang
yang pernah menjabat sebagai Lurah/ Kepala Desa Trihanggo adalah:
2. Mitrodiharjo, 1948 – 1959
3. Pujowinoto, 1959 – 1966
4. Amat Umar, 1966 – 1972
5. Sukendar Kendro Suharto, 1973 – 2004
6. Suyadi Harjopiyogo, 2004 – 2009
7. Herman Budi Pramono, 2009 – sekarang.
08.02
Nama-nama
yang pernah memangku jabatan Carik Desa/Sekretaris Desa Trihanggo antara lain:
1.
Sumaryoto,
Jambon
2.
Paidi
Suro Martono, Jambon
3.
Pujo
Winoto, Jambon.
4.
Sarbini
Projo Wiyono, Panggungan
5.
Christina
Tjahjaningsih Nugraha Pratangkaswati, Jambon
08.03 Nama-nama yang pernah memangku jabatan
Kabag Keamanan/ Kaur Pemerintahan/Kabag Pemerintahan, antara lain:
1.
Atmo
Kartono, Baturan
2.
Kismo
Hartoyo, Bedog
3.
Suyana
Wiharjo, Ngawen
08.04 Nama-nama yang pernah memangku jabatan Kabag
Kemakmuran/ Kaur Pembangunan/Kabag
Pembangunan, antara lain:
1.
Poncodiharjo,
Baturan
2.
PC.
Suhono, Kronggahan I
3.
Nurharyanto,
Panggungan
08.05 Nama-nama yang pernah memangku
jabatan Kabag Igama/ Kaur Kemasyarakatan/
Kabag Kemasyarakatan, antara lain:
1.
Abdullah
Hadi, dari Padukuhan Baturan
2.
Sudarno,
Ba dari Padukuhan Mayangan
08.06 Nama-nama yang pernah memangku jabatan Kabag
Sosial/ Kaur Keuangan/Kabag Keuangan, antara lain:
1.
Sastro
Pranoto dari Padukuhan Nusupan
2.
H.
Yuliadi, dari Padukuhan Nusupan.
08.07 Nama-nama yang pernah memangku jabatan Kabag
Pembantu Umum/ Kaur Umum/ Kabag Pelayanan Umum , antara lain:
1.
Sarbini
Projo Wiyono dari Padukuhan Panggungan
2.
Siswo
Pranoto, dari Padukuhan Bedog
3.
Surata,
dari Padukuhan Panggungan
08.08 Nama-nama yang pernah menjabat
sebagai Kepala Dusun/ Dukuh, antara lain:
a.
Padukuhan
Kronggahan I
1.
Sastrodimejo
2.
Fx.
Sutardjo
3.
Ridhan
Wahyuti
b.
Padukuhan
Kronggahan II
1.
Harjosuwarno
2.
Benudiharjo
3.
Slamet
Dirjo Wiyoto
4.
Anto
Sudadi
c.
Padukuhan
Ngawen
1.
Nitiwiharjo
2.
Ngadari
3.
Joyosudarmo
4.
Iswanto
d.
Padukuhan
Mayangan
1.
Dirjo
Sentono
2.
Atmowiryono
3.
Sutrisno
Winoto
4.
Giran
e.
Padukuhan
Trini
1.
Wongso
sentono
2.
Darmohartono
3.
Purwanto
f.
Padukuhan
Baturan
1.
Purwodiharjo
2.
Amat
Jalal
3.
Marsugiyatno
4.
Dariati
g.
Padukuhan
Jambon
1.
Notopidekso
2.
Hardono
Hadisumitro
3.
Heri
Siswanta
h.
Padukuhan
Bedog
1.
Ali
Winarto
2.
Sudarsono
3.
Sumarso
i.
Padukuhan
Salakan
1.
Amat
Saleh
2.
Amat
Diharjo
3.
Suyana
j.
Padukuhan
Nusupan
1.
Wignyo
Hartono
2.
Marjo
Suwarno
3.
Ignatius
Suradi
4.
Sumarjono
k.
Padukuhan
Biru
1.
Mangunwiharjo
2.
Partodiharjo
3.
Wartini
l.
Padukuhan
Panggungan
1.
Atmorejo
2.
Dullah
Hadi
3.
Surata
4.
Nurharyanto
5.
Madiyana
09
Sejarah Pendidikan di Desa Trihanggo.
Pada
akhir tahun 1900, di Yogyakarta hanya terdapat 2 (dua) sekolah yang didirikan
oleh pemerintah Hindia Belanda. Sekolah-sekolah ini oleh masyarakat lebih
dikenal sebagai Sekolah Gubernemen. Kedua sekolah yang terdapat di Sri manganti
Bangsal Trajumas Kraton Kasultanan Yogyakarta berderajat Kelas I dan sekolah
yang berada di bangsal Pengapit Pagelaran berderajad Kelas II.
Sekolah
berderajad Kelas I diperuntukan bagi anak-anak bangsawan dan pegawai tinggi,
sedangkan sekolah berderajad Kelas II diperuntukkan bagi anak pegawai kelas
menengah dan pegawai rendah.
Mulai
tahun 1901, Pemerintah Hindia Belanda mulai memperbanyak sekolah Kelas II di
wilayah Kasultanan Yogyakarta, sehingga di tahun 1906 di wilayah Yogyakarta
terdapat 1 sekolah Kelas I dan 6 sekolah Kelas II.
Pada
tahun 1907 dimasa pemerintahan sri Sultan HB VII banyak didirikan
sekolah-sekolah kasultanan dan sekolah-sekolah Pakualaman.
Sekolah-sekolah
yang berderajad Kelas II ini banyak didirikan di wilayah kawedanan dan
kapanewon diluar kota. Biarpun Sekolah-sekolah Kasultanan ini hanya meluluskan
siswa sampai kelas 3, tetapi hal ini merupakan tangga yang pertama bagi rakyat
diluar kota untuk menimba ilmu pengetahuan dan sekaligus harapan menjadi
pegawai pemerintah.
Salah
satu Sekolah Kasultanan yang dimaksud tersebut diatas adalah Sekolah Kasultanan
yang berada di padukuhan Jambon, yang pada saat ini lebih dikenal sebagai SDN
Jambon I.
Pada
Zaman Kemerdekaan, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dasar di Desa Trihanggo
telah didirikan beberapa Sekolah Dasar Negeri, sehingga pada saat ini terdapat
lima Sekolah dasar Negeri, dua Sekolah Dasar Swasta dan satu Madrasah
Ibtida’iyah. Sekolah-sekolah tersebut adalahlain :
01. SDN Jambon I di Padukuhan Jambon
02. SDN Jambon II di Padukuhan Kronggahan II,
03. SDN Baturan I di Padukuhan Biru,
04. SDN Baturan II di Padukuhan Panggungan,
05. SDN Bedog di Padukuhan Bedog,
06. SDN Mayangan di Padukuhan mayangan.
07. SD Muhammadiyah Trini di Padukuhan Trini.
08. SD Muhammadiyan Kronggahan di Padukuhan Kronggahan.
09. Madrasah Ibti’daiyah Blendangan di
Padukuhan Salakan.
Seiring
dengan perkembangan jaman, untuk menambah daya tampung terhadap siswa lulusan
Sekolah dasar Pada tahun 1976 di Desa Trihanggo didirikan Sekolah menengah
Pertama (SMP) Negeri Trihanggo. Sekolah yang dibangun diatas Tanah Kas Desa
Trihanggo seluas 1 Hektar ini pada saat ini lebih dikenal sebagai SMP 2
Gamping.
10
Sejarah Desa Trihanggo pada Jaman
Pendudukan Tentara Jepang.
Pemerintahan
Bala Tentara Jepang berkuasa di Indonesia selama kurang lebih tiga setengah
tahun, mulai dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945. Pada jaman Pendudukan
tentara Jepang di Indonesia, tentu saja wilayah Yogyakarta menjadi salah satu
wilayah yang menjadi bagian dari penjajahan pendudukan tentara Jepang.
Penjajahan
oleh bala tentara Jepang yang meskipun berlangsung hanya dalam waktu sekitar
tiga setengah tahun, namun dirasakan sangat berat bagi rakyat. Hal ini karena
rakyat diperlakukan sebagai obyek penjajahan.
Rakyat
dipaksa untuk menyerahkan harta kekayaannya, rakyat dipaksa untuk menyerahkan
semua hasil bumi dan pertanian, rakyat dipaksa untuk melakukan kerja paksa
tanpa upah, bahkan rakyat dipaksa untuk menjadi romusha.
Dalam
situasi yang sangat sulit, Sri Sultan HB IX sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta
mencetuskan ide untuk membuat Selokan Mataram.
Selokan
Mataram ini berwujud sungai buatan yang berhulu di Sungai Progo, mengalir
melintang kearah timur dan berhilir di kali Opak.
Beberapa
tujuan pembangunan Selokan Mataram ini antara lain adalah-
01. Menciptakan saluran irigasi baru agar
hasil pertanian dapat ditingkatkan.
02. Mencegah atau mengurangi rekruitmen
romusha.
03. Menciptakan lapangan kerja bagi rakyat
dengan upah sistem padat karya.
04. Membuka lahan pertanian baru.
11
Desa Trihanggo pada Jaman Permulaan
Kemerdekaan RI
Pada
tanggal 26 September 1945, hampir semua pegawai kantor negeri maupun kantor
partikelir di wilayah Yogyakarta mengadakan aksi serentak mengambil alih
kekuasaan atau pimpinan yang saat itu masih dikuasai oleh bangsa Jepang atau
bangsa laen.
Aksi
serentak itu dilaksanakan dengan kemauan bulat dari segenap pegawai dari yang
rendah sampai yang paling tinggi. Pada Jam 10 pagi, semua perusahaan dan pabrik
di wilayah yogyakarta timbul pemogokan-pemogokan dari para pegawainya. Aksi
pemogokan ini mendapat bantuan sepenuhnya dari barisan rakyat, pemuda BKR yang
teratur rapi mengepung tempat-tempat yang dipandang perlu.
Dengan
kekuatan yang teratur dan rapi, mereka mendesak dengan keras agar pimpinan dan
kekuasaan diserahkan kepada pegawai Indonesia. Akhirnya pada jam 20.00 WIB
pimpinan di semua kantor dan perusahaan telah diambil alih dan dikuasai oleh
bangsa Indonesia dengan memuaskan meskipun dibeberapa tempat harus terjadi
bentrokan.
Beberapa
perusahaan dan pabrik yang pada saat itu berhasil diambil alih adalah :
01. Pusat Nanyo Kohatsu Yogyakarta, dan
cabang-cabangnya.
02. Jawatan Kehutanan.
03. Daiken Sangyo.
04. Pabrik Gula Tanjungtirto.
05. Padokan.
06. Beran.
07. Cebongan.
08. Gondanglipuro.
09. Plered.
10. Gesikan.
11. Rewulu.
12. Medari.
13. Pundong.
14. Sewu Galur.
15. Salakan. (Babrik)
Akhirnya,
Pada tanggal 27 September 1945 Komite Nasional Indonesia Daerah Istimewa
Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
seluruhnya telah ditangan Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII yang keduanya
didukung sepenuhnya oleh Komite Nasional.
12
Desa Trihanggo pada Jaman Perang
Kemerdekaan
Pada
Tahun 1945, di Wilayah Mataram (Kasultanan dan Pakualaman) dibentuklah Kota
Yogyakarta dengan wilayah yang meliputi bekas Kawedanan Yogyakarta.
Pada
Tahun 1948, Tentara Belanda melakukan Agresi Militer yang kedua dan berhasil
menguasai Yogyakarta bahkan menawan Presiden, Wakil Presiden dan para pemimpin
lainnya. Tentara Belanda mengumumkan kepada dunia Internasional bahwa Republik
Indonesia telah tiada dan Tentara Nasional Indonesia telah bubar.
Tanggal
1 Maret 1949, tepat jam 06.00 pagi, telah dimulai suatu serangan besar-besaran
yang dilakukan oleh Tentara nasional Indonesia terhadap pos-pos tentara
Belanda. Serangan besar-besaran oleh TNI ini lebih dikenal dengan sebutan
Serangan Umum 1 maret 1949, bertujuan membuktikan kepada dunia internasional
bahwa Republik Indonesia masih ada dan TNI masih menguasai daerah-daerah
wilayah Republik Indonesia.
Pasca
terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Belanda secara aktif melakukan
patroli militer beregu ke wilayah-wilayah. Selama pasukan Belanda melakukan
patroli, tidak jarang terjadi anggota pasukan ini melakukan
penembakan-penembakan terhadap penduduk yang oleh mereka dicurigai memihak
kepada Republik. Hal ini juga terjadi di beberapa tempat di Wilayah Desa
Trihanggo dan menimbulkan korban meninggal dunia dengan luka tembak antara lain
sdr. Himokariyo di Padukuhan Ngawen dan Sdr Mangun Di Padukuhan Kronggahan.
Dalam
pergerakan pertempuran yang dilakukan pada saat mendukung Serangan Umum 1 Maret
1949 maupun dalam serangan-serangan yang dilakukan secara sporadis pasca
Serangan Umum 1 Maret 1949, tersebutlah suatu pasukan yang lebih dikenal
sebagai Corp Polisi Militer (CPM). Pasukan ini tetap menjaga kewaspadaan dan
aktif melakukan serangan-serangan secara sporadis dengan basis markas yang
berpindah-pindah menyesuaikan situasi dan kondisi pada saat itu. Corp Polisi Militer ini pernah selama sekitar
3 bulan bermarkas di wilayah Padukuhan Baturan, sebelum akhirnya memasuki
wilayah kota Yogyakarta menuju markas di Patuk dan Gayam setelah konflik antara
Bangsa Indonesia dengan tentara sekutu dinyatakan berakhir.
Dalam
situasi siaga pasca Serangan Umum 1 Maret 1949, masyarakat melakukan kegiatan
swakarsa yang bertujuan menjaga keamanan lingkungan tempat tinggalnya,
sekaligus memberi dukungan informasi dan logistik bagi para prajurit dan laskar
yang tetap menjalankan siasat gerilya terhadap pos-pos tentara Belanda di Kota
Yogyakarta. Salah satu kegiatan swakarsa ini dilakukan oleh Masyarakat
Padukuhan Nusupan, yang lebih dikenal dengan “Sandi Pacul Gowang”. Untuk
mengenang perjuangan masyarakat ini, di padukuhan Nusupan didirikan monumen
perjuangan yang dikenal dengan nama “Monumen Pacul Gowang”.
13
Bangunan dan Tempat Bersejarah
Beberapa tempat atau bangunan yang terletak di Wilayah Desa
Trihanggo dan dinilai memiliki arti sejarah bagi masyarakat, antara lain :
a.
Bekas
Bendungan Schere.
Bendungan Schere, terletak di Kali Bedog
wilayah padukuhan Ngawen. Bendungan ini dibangun pada masa penjajahan Belanda.
Bendungan berwujud sesek ini dibangun
untuk membendung Kali Bedog dengan maksud dialirkan melalui saluran kali
Mlangi, untuk dipergunakan mengairi bulak sawah Kulon Ngawen, Bulak Papringan
sampai dengan bulak wetan Keditan.
b.
Pohon
Beringin di persimpangan jalan kabupaten dan jalan Jambon.
Pohon Beringin yang terletak di
tengah-tengah persimpangan Jalan kabupaten dengan jalan Jambon ini, terletak
juga dipersimpangan (titik pojok) dari 4 padukuhan, yaitu Padukuhan Jambon,
Padukuhan Baturan, Padukuhan Nusupan dan Padukuhan Biru.
Pohon Beringin ini ditanam atas pada tahun
1937 prakarsa Saudara Sastrowiharjo,
yang pada saat itu sebagai Lurah
Kalurahan Biru, dimaksudkan sebagai penanda sekaligus mengingatkan saat
penobatan Ratu Wilhelmina sebagai ratu di Negeri Belanda pada saat itu.
Pohon Beringin tersebut, pada saat ini
tetap hidup subur.
c.
Masjid
Al Ilham di Padukuhan Kronggahan I.
Masjid Al Ilham, terletak di Padukuhan
Kronggahan I, merupakan masjid yang dibangun oleh masyarakat pada masa Kepala
Desa Mitrodiharjo, merupakan masjid yang didirikan pertama di wilayah Desa
Trihanggo.
d.
Gedung
Sekolah kasultanan Kelas Dua.
Gedung yang pernah ditempati untuk Sekolah
Dasar Negeri (SDN) Jambon I pada awalnya merupakan Sekolah Kasultanan Kelas Dua, didirikan diatas tanah milik
Kasultanan Yogyakarta. Sekolah yang pada awalnya menamatkan siswanya hanya
sampai pada kelas III ini terletak di Padukuhan Jambon Desa Trihanggo.
e.
Pasar
Jambon.
Pasar Jambon ada sejak zaman revolusi
fisik, pada awalnya terletak di sisi jalan Jambon, berjajar di sisi utara
sepanjang Jalan jambon, mulai dari persimpangan jalan di depan SDN jambon I,
berjajar kearah Barat.
Pada awalnya, pasar ini berupa pasar pagi,
dan tidak berupa bangunan permanen. Lebih tepatnya adalah berupa bangunan emplek-emplek.
Seiring dengan perkembangan jaman, atas
prakarsa Prof. Dr. Mubyarto bekerja sama dengan Pemerintah Australia pada tahun
1972 direlokasi memanfaatkan Tanah kas Desa Trihanggo.
f.
Monumen
Pacul Gowang
Bangunan berupa tugu ini dibangun di wilayah padukuhan Nusupan,
dimaksudkan sebagai tetenger suatu perjuangan swakarsa masyarakat yang lebih
dikenal dengan sandi Pacul Gowang.
Tanggul (tambak; bhs jawa) dan Talang
Tanggul (tambak; bhs jawa) dan Talang
Daerah di sebelah barat Kraton Kasultanan
Yogyakarta pada jaman awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta hampir sebagian
besar berupa rawa. Oleh karena itu penyelenggara pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta merasa perlu mengurangi debit air yang mengarah ke daerah rawa-rawa
tersebut.
Salah satu penyuplai air rawa pada saat
itu adalah kali Winongo yang sering meluap di Bulak Lembu, menuju Bulak talang,
Bulak Mindi, Bulak Ngelo, Kwarasan terus berlanjut kearah selatan menuju daerah
di sebelah Barat Kraton Kasultanan Yogyakarta. Oleh karena itu penyelenggara
pemerintahan Kasultanan Yogyakarta membangun tanggul ( dalam bahasa jawa
disebut sebagai “tambak”). Tanggul ini dibangun mulai dari Bulak Wetan Baturan
kearah selatan melalui Bulak Talang Lor, Bulak Talang Kidul, Bulak Blambangan,
Kampung Tambak sampai Kampung Bener.
Dengan dibangunnya Tanggul (tambak)
tersebut, maka untuk keperluan irigasi di area pertanian yang terletak di
sebelah tenggara Desa Trihanggu meluas kearah Selatan perlu dibuat saluran
irigasi, sehingga karenanya, dibangun kali Blambangan yang berhulu di Kali
Winongo di Blambangan tepatnya di Bulak Lembu mengalir kearah Baratdaya menuju
bulak Talang melalui gorong-gorong panjang (terowongan yang dalam dan panjang)
dibawah tanggul (tambak, bhs Jawa) Bulak Blambangan yang dibangun tersebut.
Dengan dibangunnya tanggul (tambak, bhs
Jawa) tersebut maka kebutuhan air irigasi dibalik tanggul tersebut di Kampung
Tambak dan Kampung Bener menjadi kurang baik dan karenanya perlu dibangun Dam
Mindi yang dikenal sebagai “Bandu Mindi”
dan mengalirkannya melalui saluran irigasi Kali Beluran dari Bulak Talang Lor
menuju kearah Tambak, Bener, Ngestiharjo dan seterusnya.
Pekerjaan pembangunan Tanggul (Tambak, bhs
Jawa) berupa gundukan tanah yang lebar (rata-rata lebih dari 50 meter), tinggi (rata-rata ketingginan 20 meter dari
permukaan aliran kali) dan panjang
(perkiraan lebih dari 500 meter, dkerjakan dengan tenaga manusia, adalah suatu
pekerjaan yang sangat besar dan dikerjakan dalam waktu yang lama. Untuk itu
perlu dibangun rumah-rumah dalam bentuk rumah panggung yang dipergunakan
sebagai rumah tinggal sementara bagi para pekerja tersebut.
Untuk mencukupi kebutuhan air bersih bagi
para pekerja, dipergunakan mata air alami (Tuk Umbul) yang kemudian dikenal
dengan nama “Tuk Bendho”.
Seiring dengan perkembangan jaman, hunian
para pekerja ini digunakan sebagai permukiman penduduk dan dikenal sebagai
kampung Panggungan.
14
Kehidupan Masyarakat
Wilayah Desa Trihanggo merupakan daerah
agraris, sehingga sebagian besar penduduknya
bertumpu pada mata pencaharian pertanian. Hal ini berlangsung sudah
cukup lama, bahkan diyakini sejak jaman pembukaan lahan.
Pada tahun 1960 sampai dengan 1985, di
Padukuhan Kronggahan pernah berkembang
suatu usaha yang terkenal dengan industri bata merah. Bahkan bata merah hasil
produksi dari wilayah Desa Trihanggo dipasarkan bukan hanya di wilayah Sleman,
tetapi merambah pasaran sampai di wilayah Klaten, Delanggu dan Surakarta.
15
Industri Masyarakat
Padukuhan Baturan, sudah sejak akhir masa
revolusi fisik sampai sekarang terdapat industri alat musik gamelan jawa.
Industri gamelan ini pernah meraih masa kejayaan pada dekade tahun 1970. Namun
dalam perkembangannya mengalami pasang surut, tetapi tetap bertahan sampai saat
ini.
Dalam bidang Industri alat-alat pertanian,
di Bendo padukuhan Panggungan, pernah terkenal dengan industri nya yang
menghasilkan alat-alat pertanian berupa cangkul, arit, susuk, mata garu dan
lain-lain.
Industri alat-alat tradisional untuk
pertanaian ini pernah merambah sampai wilayah semarang, Purwokerto dan
Surakarta.
Seiring dengan perkembangan jaman, dengan
semakin padatnya penduduk dan keterbatasan area pemukiman, maka banyak lahan
pertanian yang berubah fungsinya menjadi pemukiman. Hal ini menyebabkan
masyarakat harus menyikapi dalam bentuk penciptaan lapangan kerja non
pertanaian. Sejak dibangunnya Jalan Arteri Utara bagian Barat atau yang lebih
dikenal dengan nama Ringroad barat, mulai awal tahun 1994 masyarakat Desa
Trihanggo mulai menemukan lapangan kerja baru dibidang perdaganagan dan jasa.
16
Ketokohan
Beberapa orang yang memiliki nama besar di
tingkat nasional dilahirkan di wilayah Desa Trihanggo, antara lain :
16.01 Nyi Tjondro Loekito
Nyi Tjondro loekito adalah pesinden yang
memiliki nama besar di tingkat nasional. Dilahirkan di Padukuhan Jambon.
16.02 Prof. Dr. Mubyarto
Tokoh yang gigih memperjuangkan ekonomi
kerakyatan di masa pemerintahan Presiden Soeharto ini, lahir dan dibesarkan di
Padukuhan Jambon.
17
Kantor
Seperti di daerah-daerah lain diwilayah Kasultanan
Yogyakarta, pada masa Kalurahan lama kegiatan administrasi perkantoran dan
pemerintahan sudah ada, namun kantor sebagaimana dimaksud dalam pengertian
perkantoran modern seperti sekarang ini belum ada. Untuk kegiatan administrasi
perkantoran dan pemerintahan dilaksanakan dengan menempati rumah atau tempat
tinggal Lurah.
Pada masa setelah dilaksanakannya blengketan, Pemerintah Desa Trihanggo diwajibkan
memiliki tempat yang tertentu untuk pusat kegiatan administrasi perkantoran.
Karena situasi ekonomi masyarakat pada waktu itu belum mampu membangun rumah/
gedung kantor, maka pemerintah desa Trihanggo meminjam rumah penduduk untuk
dipergunakan sebagai kantor, sehingga akarenanya Pemerintah Desa Trihanggo beberapa
kali mengalami perpindahan kantor.
Tahun 1948 – 1959, Pemerintah Desa
Trihanggo berkantor di Rumah Sdr. Tukiran di wilayah Padukuhan Baturan,
tepatnya di samping perempatan Beringin Jalan Kabupaten.
Tahun 1960 – 1972, Pemerintah Desa
Trihanggo berkantor di padukuhan Jambon, dengan meminjam rumah milik Saudara Broto
Kisworo.
Pada Hari Jumat Kliwon tanggal 22 Desember 1972 bertepatan dengan tanggal 17 Zulkaidah
1392 H, Pemerintah Desa Trihanggo mulai menempati gedung milik sendiri,
terletak di jalan Jambon, Padukuhan Biru. Hal ini berlangsung sampai dengan
sekarang.
18
Wilayah
Secara geografis, Wilayah Desa Trihanggo
terletak pada koordinat :
7°. 44΄.09,06″ LS s/d
7°.46΄.20,93″ LS dan 110°.20΄.44,30″
BT s/d 110°.21΄.11,92″ BT
Dengan Luas Wilayah + 562 Ha, terdiri
atas 12 padukuhan, yaitu padukuhan Kronggahan I, Kronggahan II, Ngawen,
Mayangan, Trini, Baturan, Jambon, Bedog, Salakan, Nusupan, Biru dan Panggungan.
Batas wilayah di sebelah Utara adalah
berbatasan langsung dengan Desa Sendangadi.
Batas wilayah di sebelah Timur adalah
berbatasan langsung dengan Desa Sendangadi, Desa Sinduadi, Kalurahan Jatimulyo.
Batas wilayah di sebelah Selatan adalah
berbatasan langsung dengan Kalurahan Bener, Desa Ngestiharjo dan Desa Nogotirto.
Batas wilayah di sebelah Barat adalah
berbatasan langsung dengan Desa Tirtoadi dan Desa Tlogoadi.
19
Kebudayaan
Masyarakat Desa Trihanggo sangat
menghargai nilai-nilai budaya tradisional khas Suku Bangsa Jawa. Hal ini
tercermin dalam kegiatan-kegiatan kehidupan sehari-hari, antara lain:
a.
Budaya
bermusyawarah.
Kebudayaan bermusyawarah dilaksanakan
dalam setiap bentuk menyikapi permasalahan kehidupan sehari-hari, antara lain:
-
Menemukan
titik temu dalam suatu perbedaan pendapat: sengketa, beda pendapat,
pertengkaran dll.
-
Membicarakan
tentang menyikapi permasalahan lingkungan: merencanakan suatu pembangunan
lingkungan, gotong royong, perkoperasian dll.
-
Menciptakan
situasi nyaman dalam kehidupan bermasyarakat: pembagian kelompok ronda
siskamling, penanganan instabilitas sosial, dll
-
Meningkatkan
nilai-nilai keimanan, antara lain berupa kegiatan pembangunan tempat ibadah,
penyelenggaraan pengajian dan peringatan hari-hari besar keagamaan.
-
Memelihara
nilai-nilai nasionalisme berupa kegiatan peringatan hari-hari besar nasional,
misalnya perayaan peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia, Perayaan memperingati Hari Jadi Kabupaten Sleman, Perayaan
Peringatan Hari Sumpah Pemuda dan lain lain.
b.
Budaya
bergotong royong.
Beberapa bentuk gotong royong yang tetap
bertahan sepanjang jaman adalah :
-
Budaya
sambatan, yaitu suatu sifat bekerja
sama untuk tujuan membantu seseorang warga yang sedang memiliki pekerjaan
besar, antara lain: Hajadan Mantu, mendirikan
rumah, Sripah dll
-
Budaya
melaksanakan kerja bakti, hal ini tercermin dalam kegiatan kebersihan
lingkungan permukiman, pembangunan sarana dan prasarana permukiman,
pemeliharaan jalan lingkungan dan lain-lain.
-
Budaya
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, hal ini tercermin dalam kegiatan
pembagian tugas ronda siskamling, penanganan peristiwa yang berpotensi menimbulkan
instabilitas ketertiban masyarakat dan lain-lain.
20
Tradisi
20.01Kegiatan tradisional
Masyarakat Desa Trihanggo sebagai bagian
dari masyarakat Daerah Istimewa Yogyakrta masih menjunjung tinggi nilai-nilai
tradisional, hal ini dapat ditengarai dalam beberapa kegiatan, antara lain:
-
Kegiatan
jagong tirakat hajad tradisional.
-
Kegiatan
Tirakat untuk menyambut malam Tahun Baru Saka, HUT Kemerdekaan Republik
Indonesia dan lain-lain
-
Kegiatan
Nyadran.
-
Kegiatan
Memetri Bumi atau yang lebih dikenal
sebagai Merti Desa.
-
Kegiatan
Tahlilan dan Yasinan.
20.02Busana Tradisional
Masyarakat Desa Trihanggo masih tetap
menghargai dan menjunjung tinggi busana tradisional. Salah satu busana
tradisional Jawa gaya Yogyakarta adalah busana yang masih dipergunakan dalam
upacara-upacara adat dan upacara-upacara wiwahan
penganten adalah Busana Takwa.
Busana Takwa atau lebih sering disebut
sebagai Surjan adalah bentuk dan cara
berbusana bagi para pria, diciptakan oleh Sunan Kalijaga.
Kelengkapan Busana Takwa atau surjan
adalah sebagai berikut:
-
Blangkon atau udheng
-
Baju
takwa utau sering disebut sebagai baju surjan.
-
Sinjang atau Jarik.
-
Setagen berwarna hitam.
-
Klonthong berwarna polos.
-
Kamus dan timang ( berbentuk
seperti sabuk ikat pinggang).
-
Dhuwung atau sering disebut Keris
-
Canela atau sering disebut Selop
terbuat dari bahan kulit.
-
Rerenggan yang umumnya berbentuk kalung karset dan bros.
21
Kesenian Tradisional.
Sebagai masyarakat agraris, masyarakat
Desa Trihanggo sangat gemar pada kesenian tradisional. Bahkan pada lampau
hampir setiap padukuhan memiliki kelompok kesenian yang menjadi andalan
masyarakat, antara lain:
a.
Kelompok
Kesenian Wayang Orang di Padukuhan Bedog dan di Padukuhan Biru.
b. Kelompok Kesenian Kethoprak di padukuhan
Kronggahan, padukuhan Ngawen, Padukuhan Mayangan, Padukuhan Bedog, Padukuhan
Salakan, padukuhan Biru dan Padukuhan Panggungan.
c. Kelompok Kesenian Kerawitan Gamelan Jawa
di Padukuhan Kronggahan, Padukuhan Ngawen dan padukuhan Biru.
d. Kelompok Kesenian Tradisional Jathilan, antara lain di padukuhan
Jambon, Padukuhan Nusupan dan Padukuhan panggungan.
Beberapa tokoh pelaku kesenian yang pernah
terkemuka di wilayah Desa Trihanggo antara lain :
-
Ki
Dalang Samdani Hardono (almarhum) dari Padukuhan Kronggahan I.
-
Ki
Dalang Sugito (almarhum) dari Padukuhan Biru.
22. Perangkat Desa Trihanggo
Pada tahun 2016, Susunan personalia Kepala
Desa dan Perangkat Desa adalah sebagai berikut:
1.
Kepala
Desa : Herman Budi
Pramono, SE, dari Kronggahan I
2.
Sekretaris
Desa :
Christina Tjahjaningsih Nugraha Pratangkaswati,SH, dari Jambon
3.
Kepala
Bagian Pemerintahan : Suyana Wiharjo, dari Ngawen
4.
Kepala
Bagian Pembangunan : Nurharyanto, SH dari Panggungan
5.
Kepala
Bagian Kemasyarakatan : H. Sudarno, BA dari Mayangan
6.
Kepala
Bagian Keuangan : H. Yuliadi, BSc dari Nusupan
7.
Kepala
Bagian Pelayanan Umum : Surata, dari Panggungan
8.
Kepala
Urusan Perencanaan :
Sutanto, dari Biru
9.
Dukuh
Kronggahan I : Ridhan Wahyuti
10.
Dukuh
Kronggahan II : Anto Sudadi, SPd
11.
Dukuh
Ngawen : Iswanto
12.
Dukuh
Mayangan : Giran
13.
Dukuh
Trini : Purwanto
14.
Dukuh
Baturan : Dariati
15.
Dukuh
Jambon : Heri Siswanta
16.
Dukuh
Bedog : Drs Sumarso
17.
Dukuh
Salakan : Suyana
18.
Dukuh
Nusupan : Sumarjono
19.
Dukuh
Biru : Dra Wartini
20.
Dukuh
Panggungan : Madiyana
21.
Staf
Sekretariat :
Arwinningrum
22.
Staf
Bag Pemerintahan :
Fx. Paidi, dari Kronggahan II
23.
Staf
Bag Kemasyarakatan : Anwar
Sudrajat, dari Ngawen
24.
Staf
Bag Pelayanan Umum : Tumpang edi
Iswanto
25.
Juru
Dapur :
Suparno Slamet Riyadi
26.
Penjaga
Malam :
Dandut Nyoto Wigati
PUSTAKA
01.
Sejarah
DIY, Depdikbud RI, Jakarta, 1977
02.
Sejarah
Hari Jadi Kabupaten se-DIY, YKBS, Yogyakarta, 2001
03.
Sejarah
Kebudayaan RI, Kuntjaraningrat, Yogyakarta, 1956.
04.
Dokumen
Pertanahan Pemerintah Desa Trihanggo.
05.
Arsip
Desa Trihanggo.
06.
Jurnal
1 Abad Kabupaten Sleman, Kantor Arsip Daerah Kab.Sleman, 2016
07.
Babon
Betaljemur Adammakna, KPH Tjakraningrat, CV Buanaraya, Yogyakarata, 1983
08.
Petunjuk
Kantor Arsip Daerah Kabupaten Sleman.
LAMPIRAN
FOTO
NASKAH ASLI PERJANJIAN GIANTI
|
LAMPIRAN
NASKAH
RIIJKBLAAD N0.11/1916

LAMPIRAN
NASKAH
RIIJKBLAAD NO. 11/2016
|
LAMPIRAN
NASKAH
RIIJSBLAAD N0.11/2016

LAMPIRAN
GAMBAR
NASKAH DOKUMEN PERTANAHAN TAHUN 1929

LAMPIRAN
GAMBAR
NASKAH DOKUMEN PERTANAHAN
|
LAMPIRAN
GAMBAR
NASKAH DOKUMEN PERTANAHAN
|
LAMPIRAN
GAMBAR
NASKAH JOGJAKARTA KOREEI N0.2 TAHUN 1945 

LAMPIRAN
GAMBAR
NASKAH MAKLUMAT NO.5 TAHUN 1948
|
LAMPIRAN
PETA
LOKASI DESA TRIHANGGO
|
LAMPIRAN
GAMBAR
SATU SET UMBUL-UMBUL
LAMBANG
KEBESARAN KABUPATEN SLEMAN
|
LAMPIRAN
GAMBAR
NASKAH SYAIR LAGU SLEMAN SEMBADA
|
LAMPIRAN
GAMBAR FLORA
DAN FAUNA SIMBOL KABUPATEN SLEMAN
|
Komentar
Posting Komentar